Rabu, 27 Maret 2013

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Reproduksi Sapi Betina
Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium merupakan dua organ kecil yang terletak di ruang abdominal yang fungsi utamanyaadalah untuk menghasilkan ovum sekaligus sebagai tempat terjadinya proses oogenesis (proses produksi sel telur). Tugas lain dari ovarium adalah menghasilkan
estrogen dan progesteron dimana kedua hormon ini memiliki peran penting dalam siklus reproduksi betina (Hafez dan Hafez, 2000). Saluran reproduksi dimulai dari tuba falopii yang merupakan sarana
transportasi sel telur dari ovarium menuju oviduk. Di dalam saluran inilah ovum bertemu dengan sperma sehingga terjadilah fertilisasi (pembuahan). Tuba falopii berhubungan langsung dengan uterus, yang berfungsi sebagai tempat berkembangnya embrio. Uterus dan vagina dipisahkan oleh sekumpulan otot tebal berbentuk melingkar silindris (serviks) yang berperan sebagai katup sehingga dapat mencegah masuknya benda asing ke dalam uterus (Toelihere, 1985b). Saat hewan betina
mengalami estrus, serviks akan membuka sehingga sperma bisa masuk. Serviks berhubungan dengan vagina yang merupakan organ mirip pipa/ selongsong (sheathlike organ) dan berfungsi sebagai saluran kelahiran agar fetus dapat keluar dari uterus induk. Bagian paling luar dari saluran reproduksi betina adalah vulva yangsekaligus merupakan akhir dari saluran ulinari (Herren, 2000)

SUPEROVULASI
Ovulasi adalah proses pemecahan folikel degraaf terjadi sewaktu ovum dilepaskan dari ovarium. Tingkatan ovarium adalah primer, sekunder, tersier dan folikel de graaf. Luteinizing Hormon (LH) menyebabkan pengendoran dinding folikel sehingga lapisan-lapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel. Sesudah ovulasi terbentuklah Corpus Luteum di dalam folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. Hewan-hewan betina dewasa yang disuntikkan hormon gonadotropin dapat menghasilkan 20 s/d 100 ova pada satu estrus. FSH menggertak pematangan beberapa folikel, sedangkan LH menyebabkan ovulasi hal ini disebut superovulasi (Toelihere, 1985a). Pertumbuhan folikel yang berkepanjangan akan meningkatkan kadar estrogen dan kadar estrogen yang tinggi dan berkepanjangan akan mengganggu sekresi LH dan akhirnya akan meningkatkan persentase folikel yang tidak terovulasi (Chupin et al., 1984). Donor akan mengalami tahapan superovulasi yang memungkinkan hewan betina dapat melepaskan beberapa sel telur dalam satu siklus estrus (Seidel dan Elsden, 1989). Superovulasi pada donor merupakan salah satu faktor penting dalam TE (Amstrong, 1993). Dalam program TE, untuk merangsang terjadinya ovulasi ganda (multiple ovulation), maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh 12-15 sel telur dalam satu kali ovulasi (Herren, 2000). Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotropine (PMSG) (Yusuf et al., 1993). Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH (Curtis, 1991) yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba (Wheeler dan Bowen, 1989) atau dari ekstrak hipofise sapi (Wilson, 1992). Donor tertentu akan memerlukan penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah ditambahkan dengan LH (Wright, 1987). Perlakuan superovulasi hendaknya disesuaikan waktunya dengan tahapan perkembangan folikel (Walsh et al., 1993) sehingga rekrutmen folikel berjalan efektif dan dihasilkan embrio dengan daya hidup (viabilitas) yang baik (Sawyer et al., 1992). Perlakuan superovulasi dapat dilakukan tepat waktu apabila siklus estrus dapat segera dikenal (Seidel dan Elsden, 1985). Hal yang terpenting adalah menjaga agar siklus estrus berjalan normal dan teratur sehingga perlakuan superovulasi dapat
sinkron dengan pola hormonal hewan secara normal. Jika siklus estrus abnormal, maka perlakuan superovulasi mungkin mengalami kegagalan.
EMBRIO

Pada tingkatan 16 sampai 32 sel, sel-sel berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellucida, embrio tersebut dikenal dengan morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam yang disebut blastocyst (Toelihere, 1985a). Langman (1981) menjelaskan bahwa satu sel zigot membelah menjadi dua sel dibutuhkan waktu selama 30 jam
setelah pembuahan. Pembelahan dua sel zigot menjadi empat sel dibutuhkan waktu selama 40-50jam setelah pembuahan, sedangkan zigot akan berpindah tempat ke tuba falopii setelah pembelahan 12-16 sel zigot yang memerlukan waktu selama 60jam. Koleksi dengan metode tanpa pembedahan melalui serviks dilakukan pada hari ke-7 atau ke-8 setelah estrus, koleksi pada hari ke-7 akan menghasilkan embrio stadium kompak morula dan blatosit awal sedangkan pada hari ke-8 embrio mencapai stadium blastosit penuh (Seidel dan Elsden, 1989). Faktor yang mempengaruhi perkembangan embrio menurut Hunter (1995) adalah : (1) keadaan uterus, karena mempunyai fungsi penting bagi embrio sebagai penyedia nutrisi, tempat implantasi differensiasi embrio dan memanjang fetus waktu normal kelahiran, (2) cadangan makanan dalam sitoplasma, (3) nutrisi pada cairan uterus yang disebut susu uterus atau histrotop, komponen dari cairan uterus ini mungkin secara khusus terlibat dalam mendorong pertumbuhan embrio, (4) kecepatan memasuki uterus yang terlalu cepat, hal ini merugikan karena embrio masih memerlukan perkembangan di tuba falopii. FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dalam ovari, proses pematangan oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan selanjutnya (Eyestone dan Boer, 1993).
Perkembangan dan Transpor Embrio dalam Saluran Reproduksi Betina Saladin (1987) menjelaskan bahwa perkembangan embrio adalah spesifik menurut lokasinya. Ini berarti embrio akan berada pada bagian – bagian khusus saluran reproduksi hewan betina sesuai dengan tahap perkembangannya. Fertilisasi terjadi dalam tuba falopii dan sel telur yang terbuahi akan berada di sana selama 3-4 hari (Hartigan 1995). Dengan demikian, morula memasuki cornua uteri pada hari ke- 4 sampai ke-5 setelah fertilisasi dan terapung bebas selama 8 atau 9 hari (Toelihere, 1985b). Pendapat ini didukung oleh Herren (2000) yang menyatakan bahwa embrio sapi akan memasuki uterus 66 - 72 jam setelah ovulasi dimana embrio mencapai stadium perkembangan 8 - 16 sel (morula). Hasil fertilisasi berupa zigot. Selama berada di dalam oviduct, zigot mengalami serangkaian pembelahan mitosis dimana setiap sel membelah menjadi dua sel anak (blastomer). Ketika sel-sel mulai membelah dan membesar maka kumpulan sel-sel ini disebut embrio (Herren, 2000). Sel-sel atau blastomer-blastomer pada tahap awal embrio tidak mengalami pertumbuhan, tetapi mereka hanya membagi diri melalui pembelahn mitosis dan mempersiapkan diri untuk pemisahan. Pemisahan terjadi sesaat sebelum atau sesudah pembentukan blastocyst (Saladin, 1987). Tahap pembelahan awal umumnya diketahui dari jumlah sel yang ada, misalnya 1 sel, 2 sel dan seterusnya sampai tahap 16 – 32 sel yang disebut morula (Toelihere, 1985b).
Perubahan utama dalam perkembangan embrio terjadi ketika embrio berkembang dari stadium 2 sel, kumpulan 4 atau 8 sel, morula dan selanjutnya blastocyst (Toelihere, 1985b). Embrio akan memasuki uterus pada tahap 8 sel atau 16 sel berupa bentuk solid dari blastomer yang disebut dengan morula (Hartigan, 1995) dan pada tahap ini embrio masih dilindungi oleh zona pellucida. Pada tahap 40 sampai 60 sel, embrio sapi mulai memadat (compaction) sehingga blastomer kehilangan bentuk spherical-nya dan mulai menempel satu sama lain yang disebut compacted morula dan umumnya dapat ditemukan 5 sampai 7 hari setelah estrus (Kuzan, 1989). Blastocyst terbentuk ketika blastomer pada tahap morula mulai mensekresikan cairan, mengatur dirinya dan mengelilingi rongga di tengah yang penuh berisi cairan yaitu blastosol (Hunter, 1995). Pada ternak, blastosol muncul pada hari ke-7. Selanjutnya blastocyst akan berdiferensiasi menjadi lapisan luar sel yang mengelilingi blastosol (trophoblast) dan agregasi sel-sel pada salah satu kutub embrio (inner cell mass / ICM) (Kuzan, 1989). Trophoblast akan membentuk chorion atau plasenta dan ICM akan menjadi fetus. Blastocyst akan keluar dari zona pellucida antara hari ke-12 dan ke-14. Blastocyst yang memanjang akan menempati sekitar 2/3 cornua uteri pada hari ke-17 atau ke-18, pada hari ke-18 sampai ke-20 akan mengisi seluruh cairan cornua uteri dan pada hari ke-24 semakin membesar hingga menekan cornua di sebelahnya (Hartigan, 1995).
TRANSFER EMBRIO

Transfer Embrio (TE) pada sapi adalah teknik manipulasi genetik yang merupakan salah satu teknologi terbaru dalam bidang reproduksi (Herren, 2000). Berbeda dengan inseminasi buatan (IB) yang meningkatkan mutu genetik hanya melalui hewan jantan (parental), TE juga berusaha meningkatkan mutu ternak hewan betina (Davis, 2004). Secara alami, sapi betina bibit unggul akan melahirkan satu anak dalam satu tahun. Teknologi TE memungkinkan diperolehnya anak sapi unggul
dalam jumlah yang lebih banyak (Wilson, 1992). Teknologi TE pertama kali diterapkan di Indonesia pada sapi-sapi potong milik perusahaan feedlot PT Berikari di tahun 1984 dan peternakan sapi perah di Cicurug, Jawa Barat (Toelihere, 1987). Program TE meliputi prosedur sebagai berikut : seleksi hewan donor dan resipien, superovulasi, sinkronisasi estrus dan inseminasi hewan donor, panen embrio, evaluasi, penyimpanan embrio serta transfer embrio pada resipien (Yusuf et al., 1993).

SELEKSI DONOR

Seidel dan Elsden (1985) mendefinisikan donor sebagai hewan dimana embrio dipanen. Nilai (value) dari hewan donor biasanya hanya dilihat dari kemampuan produksi susu dan daging. Ternak donor harus memiliki tubuh yang sehat karena sapi yang sakit umumnya tidak memberikan respon terhadap perlakuan superovulasi. Menurut Wright (1987) sapi donor harus bebas penyakit dan bebas abnormalitas gerak, mempunyai catatan produksi yang baik dan siklus estrus yang teratur. Menurut Herren (2000) sapi yang dipilih sebagai donor biasanya merupakan sapi bibit unggul dengan ciri-ciri : produksi susu tinggi, pertumbuhan badan yang bagus dan kemampuan reproduksi yang baik. Jourdon (1989) merekomendasikan bahwa sapi donor minimal telah menyelesaikan satu kali laktasi dan lebih baik lagi dua kali atau lebih.
SINKRONISASI ESTRUS

Jika fertilisasi tidak terjadi, maka seluruh proses produksi sel telur dimulai kembali dari awal (Hunter, 1995). Siklus ini disebut siklus estrus yang secara normal muncul setiap 21 hari pada sapi. Durasi estrus berkisar 2-30 jam dengan rata-rata 15-18 jam (Riek, 1989). Lamanya siklus estrus rata-rata pada sapi dara 20 hari dan 21 hari pada sapi dewasa berkisaran normal 18-24 hari (Hafez dan Hafez, 2000). Umumnya variasi dalam panjang siklus estrus dikarenakan variasi dalam fase luteal. Kemampuan untuk mendeteksi estrus adalah salah satu faktor kunci keberhasilan transfer embrio (Seidel dan Elsden, 1985). Tingkat sinkronisasi estrus yang tinggi antara sapi donor dan sapi resipien sangat penting untuk mencapai angka konsepsi yang tinggi (Wright, 1987) sehingga dapat diperoleh embrio dengan kualitas tinggi (high-quality embryo). Intensitas tanda-tanda estrus sangat bervariasi antar individu. Menurut Hunter (1995) tanda estrus yang dapat diandalkan adalah saat sapi diam jika dinaiki (standing heat). Sapi yang estrus cenderung gelisah, sulit dikendalikan dan mereka menunjukkan kecenderungan membentuk kelompok yang lebih aktif (Riek, 1989) serta vulva yang tampak merah, bengkak dan adanya aliran mukus (Hunter, 1995).

INSEMINASI

Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci keberhasilan TE selanjutnya terletak pada inseminasi dengan semen yang berasal dari sapi pejantan bibit unggul (Jourdon, 1989). Setelah perlakuan superovulasi, perlu dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat (Seidel dan Elsden,
1985) dan biasanya IB dilakukan 6-24 jam setelah munculnya estrus. Herren (2000) menyarankan agar inseminasi segera dilakukan pada saat sel telur diovulasikan karena daya hidup sperma yang singkat (20-30 jam). Wilson (1992) mengungkapkan bahwa IB dilakukan 3-4 kali dengan interval setiap 12 jam.
PANEN EMBRIO

Panen atau koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke-7 (Curtis,1991) sampai hari ke-8 setelah berahi dimana sebagian besar embrio sudah memasuki ujung cornua uteri pada masa itu (Elsden, 1989). Embrio akan berkembang sekitar satu minggu, kemudian embrio dipanen pada tahap morula sampai blastocyst (Ishimori et al., 1993). Teknik koleksi embrio pada sapi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu bedah dan non bedah (Herren, 2000). Secara empiris, teknik bedah telah diketahui dapat mengakibatkan terbentuknya jaringan parut (scar tissue) sehingga terjadi perlekatan ovarium pada uterus. Selanjutnya digunakan cara lain yaitu teknik koleksi embrio non bedah dengan resiko yang lebih kecil, aplikasi sederhana, tidak memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di lapangan dengan biaya yang lebih ekonomis (Herren, 2000). Namun, teknik bedah masih dapat dijadikan alternatif untuk menangani kasus infertilitas tertentu (misalnya causa mekanis seperti adanya sumbatan pada oviduk) atau karena kesulitan memasukkan kateter melalui serviks (Wright, 1987).
Pemanenan embrio tidak dilakukan lebih awal karena dapat menurunkan efisiensi koleksi embrio dengan metode non bedah. Sebelum hari ke-4 semua embrio berada di dalam oviduk yang dipisahkan dari uterus oleh utero-tubal junction. Struktur ini berfungsi sebagai katup (valve) yang dapat mengontrol masuknya sperma dari uterus menuju oviduk sehingga fertilisasi terjadi tepat waktu dan
mengatur tarnsfer embrio ke arah sebaliknya. Embrio akan di transpor menuju uterus pada hari ke-4 sampai hari ke-5 setelah estrus, melalui kontraksi ritmik pada dinding oviduk dan relaksasi dari otot pada dinding utero-tubal junction sehingga tingkat keberhasilan koleksi embrio akan lebih tinggi pada hari ke-6 dan seterusnya daripada hari ke-4. Kadang-kadang beberapa embrio masih berada dalam oviduk pada sapi yang disuperovulasi sampai hari ke-10 (Seidel dan Elsden, 1989). Jika koleksi embrio tahap blastocyst dilakukan setelah hari ke-8, maka dapat menyebabkan kerusakan embrio karena embrio sudah keluar dari zona pellucida. Blastocyst tanpa zona pellucida tampak lengket sehingga menempel pada tabung penampung embrio (Kuzan, 1989). Seidel dan Elsden (1989) menyatakan bahwa embrio yang dipanen seharusnya berada pada tahap perkembangan yang sama. Embrio dipanen tiga hari setelah estrus donor biasanya terdiri dari 4-8 sel, embrio yang dipanen pada hari ke-4 mempunyai 8-16 sel, embrio yang dipanen pada hari ke-5 atau ke-6 biasanya sudah mencapai tahap morula dan embrio yang dipanen pada hari ke-7 sudah mencapai tahap blastocyst. Selanjutnya, Sukra et al. (1991) menemukan bahwa dengan cara flushing embrio stadium 2-4 sel dapat dipanen pada hari ke-2 kebuntingan, sedangkan stadium 8-16 sel (morula) diperoleh pada pemanenan hari ke-3 kebuntingan.

EVALUASI DAN KLASIFIKASI EMBRIO

Evaluasi embrio merupakan faktor yang menentukan keberhasilan program TE (Wright, 1987). Evaluasi morfologi embrio telah terbukti berguna dalam memprediksi angka kebuntingan (pregnancy rate) bagi sekelompok embrio, namun teknik ini kurang dapat menentukan kemampuan bertahan hidup embrio. Embrio dievaluasi agar diketahui kualitasnya sehingga dapat ditransfer ke resipien yang tepat, dimana embrio dengan kualitas terbaik ditransfer ke resipien yang paling baik
pula (Seidel dan Elsden, 1985).

BAB II


TINJAUAN PUSTAKA

Alat Reproduksi Sapi Jantan ( Organo genitalia masculina )
Susunan anatomi pada organ kelamin hewan jantan, pada umumnya terbagiatas empat komponen, yakni organ kelamin primer, organ kelamin sekunder, kelenjar  pelengkap, serta organ kelamin luar (Anonim, 2009).Organ kelamin primer yaitu gonad jantan yang dinamakan Testis.
Organ kelamin sekunder terdiri dari  Epididimis dan Vas Deferens. Kelenjar pelengkap terdiridari  Vesikula Seminalis, Kelenjar Prostat,dan Kelenjar Cowper. Sedangkan organkelamin luar terdiri dari Penis, Preputium, dan Scrotum (Luqman, 1999).Berikut adalah beberapa pemaparan mengenai anatomi organ reproduksihewan jantan, yakni organ kelamin primer,organ kelamin sekunder, kelenjar  pelengkap, serta organ kelamin luar :

 Testes

Testes terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam kantong  Scrotum ,dimana di dalam scrotum berisi dua lobi testes yang masing-masing lobi mengandungsatu testes dan digantung oleh funiculus spermaticus. Pada sapi jantan, testesberbentuk oval memanjang dan terletak dengan sumbu panjangnya vertical di dalamscrotum. Testes terbungkus oleh kapsul berwarna putih mengkilat yang disebut dengan tunika albugenia (Toelihere, 1985).Pada sudut posterior, organ ini terbungkus oleh selaput atau kapsula sebagai mediastinum testes. Septula testes merupakan selaput tipis yang meluas mengelilingi mediastinum hingga tunika albugenia dan membagi testes menjadi 250-270 bagian berbentuk pyramid yang disebut lobuli testes. Isi dari lobulusadalah tubulus seminiferus yang merupakan tabung kecil panjang dan berkelok-kelok memenuhi seluruh kerucut lobules.
Muara tubulus seminiferus terdapat pada ujungmedial dari kerucut. Pada ujung apical dari tiap-tiap lobules akan terjadi penyempitanlumen dan akan membentuk segmen pendek pertama dari sistem saluran kelaminyang selanjutnya akan masuk ke rete testes. Dinding tubulus seminiferus terdiri daritiga lapisan luar ke dalam yaitu tunika propia, lamina basalis dan lapisan epithelium (Luqman, 1999).Testes pada pejantan dewasa yang normal mempunyai dua fungsi yang penting, yakni untuk memproduksi spermatozoa hidup dan subur serta memproduksi androgen atau hormon kelamin jantan yakni testosterone (Salisbury, 1985).

Epididimis


Epidimis merupakan saluran reproduksi jantan yang terdiri dari tiga bagianyakni, caput epididimis, corpus epididimis, dan cauda epididimis. Caput epididimismerupakan muara dari sejumlah duktus eferents dan terletak pada bagian ujung atasdari testes. Corpus epididimis merupakan saluran kelanjutan dari caput yang beradadi luar sedangkan cauda epididimis merupakan kelanjutan dari corpus yang terletak  pada bagian ujung bawah testes (Luqman, 1999).
                                             
 Vas Deferens

Duktus (vas) deferens merupakan saluran yang menghubungkan cauda epididimis dengan urethra. Dindingnya mengandung otot polos yang berperan dalam pengangkutan spermatozoa. Diameter vas deferens 2 mm dengan konsistensi sepertitali, berjalan sejajar dengan corpus epididimis. Dekat dengan kepala epididimis, vasdeferens menjadi lurus dan bersama-sama dnegan pembuluh darah, limfe dan saraf  pembentuk funikulus spermatikus yang berjalan melalui kanalis inguinalis ke dalamcavum abdominal. Kedua vas deferens (kiri dan kanan) terletak sebelah menyebelahdi atas vesika urinaria lambat laun menebal dan membesar membentuk ampula duktusdeferens (Toelihere, 1985).

 Vesikula Seminalis

Pada sapi, kelenjar ini terdapat sepasang dan terdapat dalam lipatan urogenitallateral dari ampula. Fungsi dari kelenjar ini adalah menambah volume semen denganmembentuk 50% dari volume normal (Toelihere, 1985).



Kelenjar Prostat 

Kelenjar ini pada sapi mengelilingi urethra dan terdiri atas dua bagian yaitu badan prostata (corpus prostata) dan prostata diseminata atau prostata yang kriptik (pars disseminata prostate). Fungsi dari kelenjar ini adalah menberi bau khas padasemen yang dihasilkan (Anonim, 2009).

Kelenjar Cowper 

Terdapat sepasang, berbentuk bulat dan kompak, berselubung tebal danpadasapi lebih kecil daripada kuda. Terletak di atas urethra dekat jalan keluar dari cavum  pelvis. Fungsi dari kelenjar ini adalah untuk membersihkan dan menetralisir urethradari bekas urine dan kotoran (Anonim, 2009).-.
Uretra

Uretra mempunyai fungsi untuk menyalurkan sperma dan urin.Menurut letaknya uretra dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pars pelvina,pars bulbouretralis dan pars penis. bagian belakang dari vesica urinariaterdapat bagunan kecil (colcullus seminalis).
Bagian depannya adalahmuara bersama dari ampula dan saluran kelenjar vesikularis (Widayatiet al.2008).Uretra hewan jantan dibagi dalam segmen prostat, membranosa,dan spingiosa. Segmen prostat menjulur dari kandung kemih ke pinggir caudal 
kelenjar prostat.
Segmen membranosa berawal dari daerahtersebut dan berakhir di uretra yang memasuki bulbus penis,dari permukaan di mana segmen spongiosa berlanjut ke gerbang luar uretra(Dellman, 1992)

Penis
Merupakan organ kopulatoris. Penis terdiri dari tiga bagian, yakni bagian akar (crush penis), bagian badan (corpus penis), dan bagian ujung yang berakhir padaglans penis (Toelihere, 1985).Berdasarkan tipe, penis pada hewan jantan dibagi menjadi dua macam yakni,tipe  fibro elastis , dan tipe vaskuler  . Pada tipe fibro elastis yang terdapat pada sapi,kerbau, kambing, domba dan babi. Pada penis tipe ini selalu dalam keadaan agak kaku dan kenyal walaupun dalam keadaan tidak aktif atau non-erect, dimana perbedaan perbedaan panjang penis antara ereksi dan tak ereksi adalah 3:2. Hal inidisebabkan karena adanya struktur atau bentuk S pada penis yang disebut dengan flexura sigmoideus.
Bagian yang berongga pada waktu aktif kelamin terisi darahmenjadi tegang tanpa membesar volume penis. Penis tipe vaskuler/musculokavernosus didapatkan pada hewan kuda, gajah dan primate. Pada penis tipe ini, banyak mengandung serabut-serabut otot dan tidak mempunyai flexura sigmoideus.Pada waktu tidak ereksi penis terasa lunak, sedangkan pada waktu ereksi ukuran panjang dan diameternya menjadi dua kali lipatnya (Hardjopranjoto, 1995).Berikut adalah gambar dari anatomi organ reproduksi jantan


DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Bahan Ajar Dasar Ilmu Reproduksi Ternak . Fakultas Peternakan.Universitas Hasanuddin. Makassar.

Anonim .2009.http://www.fkhunair/bahanajar/ilmumugidah/alat reproduksiternak/20.08.09/7.43PM/Anonim

Anonim. 2009.http://www.ilri.org/21.02.09/9.21PM/Anonim

Anonim. 2009.http://www.wordpress.com/proses reproduksi/26.08.09/00.03AM/Anonim

Anonim.2009.http://www.fkhunair/bahanajar/ilmumugidah/implantasi/20.08.09/7.41PM/Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak . Airlangga University Press.Surabaya.
Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi . Universitas Brawijaya. Malang.Luqman, M., 1999.Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan UniversitasAirlangga. Surabaya.
Poernomo, B. 1999. Diktat Ilmu Mugidah.Universitas Airlangga. Surabaya.Purwo, H. 2009. Peran Fetus dan Induk dalam Inisiasi Kelahiran. FakultasKedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Toelihere, M. 1985. Fisiologi Reproduksi Pada Ternak . Angkasa. Bandung.